Trending

Panduan Sejarah Untuk Para Bujangan



Penulis : Ust. Herfi Ghulam Faizi, LC

Arjuna mencari cinta. Itu ungkapan yang pas buat para bujangan. Dalam pewayangan, Arjuna memang menjadi simbul lelaki tampan yang penuh pikat. Pesonanya memancar kuat. Sangat memukau. Ditambah kepribadiannya yang santun. 
Menjadikan setiap wanita harus bertekuk lutut di hadapannya. Tidak ada alasan bagi 
para wanita untuk tidak jatuh cinta kepadanya.
Tapi itu Arjuna. Bukan kita. Dunia Arjuna adalah dalam pewayangan. Sedang 
kita ada dalam the real life. Tentu berbeda. Makanya, jangan 
bermimpi menjadi Arjuna. Atau begini, kalau ingin menjadi Arjuna, ya di mimpi saja.
Bujangan, istilah kerennya jomblo. Animonya adalah 
hidup yang masih bebas, lepas dan tanpa batas. Laksana burung yang terbang di alam terbuka, bisa hinggap di setiap dahan dan ranting yang diinginkan. Bisa mencicipi bunga mana 
saja. Mawar, melati, anggrek, angelir, dan semuanya, sesuka 
hati. Tanpa ada yang melarang.
Satu hal yang perlu disadari, sudah sunnatullah semua 
makhluk diciptakan berpasangan. Artinya ada kebutuhan lahir 
maupun bathin manusia yang itu hanya bisa dirasakan ketika dirinya menjalin pasangan dengan seseorang. Contohnya; rasa damai, pengayoman, perhatian sampai urusan hasrat seksual. Akan tersalurkan jika telah bersama pasangan. Khawatirnya salah 
dalam menyalurkan fitrah dan naluri berpasangan ini. Pacaran pun ditempuh. Ada 
juga yang tidak mau disebut pacaran tapi ‘pacaran’, TTM (teman tapi mesra) istilah 
kininya.
Makanya orang cenderung merasa tenang, senang, damai, tenteram saat bersama dengan pasangannya. Fitrah ini namanya. Karena memang semua tercipta berpasangan. Simak firman Allah berikut ini:
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu 
mengingat kebesaran Allah.” (QS. adz-Dzariyat: 49)

Hidup membujang, antara pilihan dan keterpaksaan. Ada orang yang membujang 
karena belum dapat pasangan. Sebenarnya hati sudah sangat ingin menikah, mental 
ok, materi ada, tapi apalah daya jika jodoh tak kunjung tiba. Ada juga yang memang 
belum siap secara mental. Materi ada, calon di depan mata, namun belum berani 
menikah, ya tidak bisa dipaksa. Ada yang memang belum siap materi, lalu bertekad 
untuk mengejar karir lebih dahulu. Ada juga yang memang belum ingin menikah, 
tanpa alasan yang jelas dan pasti.
Apapun alasan membujang, that’s ok. Namun perlu orientasi yang jelas dari 
keputusan untuk tidak menikah dulu. Agar masa tersebut menjadi penuh makna. 
Tidak sia-sia begitu saja.
Bagaimana cara mengoptimalkan waktu bujangan? Mari belajar kepada orang 
yang berpengalaman dan berhasil dalam pengalamannya. Siapa lagi jika bukan para 
ulama’ kita. Tentu mereka pernah melewati masa bujangan. Bahkan tidak sedikit 
dari ulama’ kita yang memutuskan untuk membujang, baik sementara maupun selamanya. Bukan karena mereka tidak mengetahui hukum menikah dalam Islam, 
bahkan mereka menulis masalah anjuran untuk menikah dalam kitab-kitab mereka. 
Mereka juga tidak menyampaikan pendapat bahwa membujang lebih utama dari 
pada menikah, atau ungkapan-ungkapan pembenaran tentang sikap yang mereka 
pilih, membujang. Dalam pandangan mereka, menikah tetap menjadi ajaran dan 
syari’at Rasulullah.
Dari merekalah tentunya kita perlu belajar, bagaimana cara mengoptimalkan 
dan mengisi waktu saat bujangan, baik bagi yang bujangan atau yang sengaja membujang.
Diantara mereka ada yang memang tidak menikah seumur hidup. Ibnu Jarir ath-
Thabari (224 – 310 H) contohnya. Tentu kita semua tahu, beliau adalah ulama’ yang 
menulis kitab tafsir klasik pertama kali, yang kemudian dikenal dengan nama Tafsir 
ath-Thabari (Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an). Beliau seorang ulama’ multi keilmuan. Seorang ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih, ahli ushul fiqih, ahli qiro’ah, ahli sejarah, ahli bahasa, ahli sastra, ahli sya’ir, ahli matematika, ahli kedokteran, dengan karya yang melimpah ruah.

Beliau menyelesaikan hafalan al-Qur’an di usia tujuh tahun, mulai menjadi imam shalat di usia delapan tahun, meriwayatkan hadits di usia sembilan tahun, dan 
memulai pengembaraan mencari ilmu di usia dua belas tahun. Beliau pernah memo-
tong kain bajunya untuk dijual dan dibelikan makanan saat kiriman dari orang tuanya terlambat datang.
Seluruh hidupnya diperuntukkan di jalan ilmu. Usianya yang delapan puluh 
enam tahun, jika dibagi dengan jumlah lembaran karya ilmunya, dan dihitung sejak 
usia balighnya, maka rata-rata setiap harinya beliau menuliskan ilmu sebanyak em-
pat belas lembar. Sangat luar biasa.
Beliau mendatangi setiap pintu rumah ulama’ besar untuk 
mendapat ilmu dari mereka. Mulai dari Baghdad, Khurasan, Iraq, Syam, Mesir, serta seluruh wilayah Islam hari itu. Benar-benar semangat dalam menuntut ilmu.
Suatu ketika, Imam ath-Thabari berkata kepada teman-
temannya, “Maukah kalian mempelajari tafsir?” Mereka menjawab, “Berapa tebal kitabnya?” Beliau menjawab, “Tiga puluh ribu halaman.” Mereka berkata, “Itu akan menghabiskan umur 
kami.” Kemudian beliau meringkas kitab tersebut menjadi tiga ribu lembar, dan 
mendiktekan isinya kepada murid-muridnya selama tujuh tahun, dari tahu 283 – 290H.
Lihatlah, betapa sibuknya Imam ath-Thabari dengan rutinitas ilmunya. Jiwanya 
telah merasa kenyang dengan ilmunya, sehingga tidak mencari pengenyang jiwa 
pada selainnya. Bujangan, tapi hasil karyanya jelas. 
Ada juga ulama’ yang hanya menunda untuk menikah, memilih membujang dengan 
batasan waktu untuk membekali diri dengan ilmu. Imam Ahmad bin Hanbal contohnya. Imam Ibnu al-Jauzi dalam kitabnya, Shaidu al-Khatir (hal. 177, pasal 121), menulis bahwa Imam Ahmad menunda menikah sampai genap usianya empat puluh tahun untuk konsentrasi mencari ilmu. Begitu usianya genap empat puluh tahun, il-
munya mendalam, karya yang dihasilkan jelas, baru menikah. Bujangan, tapi berprestasi.

Umar bin Khattab pernah menyampaikan, “Tafaqqohu qobla an 
tasuudu” (Shahih Bukari, 1/151). Tafaqqahuu artinya belajarlah ilmu (fiqih). Sedang-
kan kata tasuudu bisa berarti menikah, bisa juga berarti memimpin (menjadi pemim-
pin). Dua-duanya bisa. Karena setelah menikah, tentu seseorang akan menjadi 
pemimpin bagi keluarganya.
Mengenai ungkapan Umar diatas, al-Murtadho az-Zabidi dalam kitab Taaj al‘Aruus (2/358) mengatakan, “Pelajarilah fiqih sebelum kalian menikah dan menjadi tuan di rumah kalian lantaran (menikah) akan menyibukkan kalian dari ilmu.”
Beginilah kira-kira langkah yang harus kita tempuh saat meretas masa bujangan. Full power untuk membekali diri dengan ilmu. Banyak mengkaji ilmu, baik sendiri ataupun dengan menghadiri majelis-majelis ilmu, serta melahirkan karya-karya besar. Bukan malah sebaliknya, bersenang-senang saja, merasa bebas tanpa tanggung jawab di masa depan, menghabiskan waktu untuk hal yang tidak penting dan bahkan sia-sia.
Banyak orang bujangan, bahkan memilih membujang, namun kualitas masa bujangan yang mereka lewati berbeda, karena apa yang mereka lakukan saat membujang tidak sama.
Bujangan ataupun yang memang membujang. Apapun alasan yang kita buat untuk tidak menikah dulu tidak ada masalah. Sah-sah saja. Karena itu pilihan. Namun harus produktif dan optimal dalam berilmu dan menelurkan karya-karya besar. Harus jelas karyanya. 
Mumpung masih bujangan, belajarlah sedalam-dalamnya. Mumpung masih sendiri, berkaryalah sebanyak-banyaknya. Kualitaskan diri Anda sehingga Allah mengkaruniakan istri yang juga berkualitas. Dengan begitu, akan lahir dari keluarga 
Anda kelak generasi-generasi yang berkualitas.